Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi terlahir di Semarang dan wafat
di Cikini, Jakarta pada tahun 1296 H/1879 M. Beliau adalah ayah dari
Habib Ali Kwitang. Makam beliau terbilang unik, karena masjid atau
makamnya berada di tengah-tengah proyek pengembangan apartemen di daerah
Cikini Jl. Raden Saleh Jakarta.
Berikut adalah hasil wawancara
Muh Subki Balya dengan Bapak Ansori, orang yang diserahi ahli bait
untuk merawat masjid, pada bulan Ramadhan tahun 1434 H:
“Bahwa
berdirinya masjid ini panjang dan katanya perebutan lahan ini dulu
sampai berdarah, tetapi tiada stasiun TV manapun yang meliputnya. Ada
seorang kaya yang berniat menggusurnya.
Sengketa tidak boleh
digusur dan mau menggusur berlanjut. Sampai akhirnya yang berkuasa duit
berhasil mau memindahkan makam Habib Abdurahman. Alat berat bego (alat
mobil berat) dikerahkan sungguh di luar rasio akal sehat. Mobil bego itu
patah.
Kemudian diambilkan mobil bego yang lebih baru dan
lebih sehat. Benar-benar karamah Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi
telah nampak. Mobil bego yang lebih layak dan sehat itu patah juga,
bahkan patahannya hampir menyambar operator alat bego itu.
Ketika peristiwa tersebut mereda, terjadi keributan yang keduakalinya.
Orang berduit itu tetap hendak mengeruk lahan tanah yang di situ
terdapat makam Habib Abdurrahman. Ternyata keluarlah sumber air dari
kerukan tersebut. Dari peristiwa itu dibangunlah sebuah masjid oleh
keluarga di samping makam Habib Abdurrahman al-Habsyi.
Kisah
unik irasional terjadi kembali. Saat pembangunan batas antara masjid
dengan proyek, tepatnya di tikungan jalan tidak kunjung mengering. Air
terus menggenang sehingga tidak dapat melakukan pengecoran pondasi,
kurang lebih hingga 3 bulan lamanya. Saat itulah dari pihak kontraktor
baru mau meminta izin sekedar berdoa di makam. Setelah itu air pun surut
dan pembangunan pagar bisa dilaksanakan.”
Kejadian unik lain diceritakan pula oleh Bapak Ansori sebagai berikut:
“Ada seorang petani dengan mengendarai sepeda motor hendak melihat
tanaman cabainya yang dikira sudah cukup umurnya untuk dipanen. Namun
setelah meninjau berulangkali tanaman cabainya itu tidak kunjung dapat
dipanen.
Datanglah ia ziarah ke makam Habib Abdurahman bin
Abdullah al-Habsyi. Kemudian ia meminta kaleng yang bisa digunakan untuk
mengambil air di makam Habib Abdurrahman.
Sepulangnya di
rumah, air seberat kaleng cat itu dioplos (dicampurkan) dengan air yang
digunakan untuk menyirami tanaman cabai. Alhamdulillah setelah itu
tanaman cabainya bisa panen. Dari kejadian itu lantas ia ziarah kembali
ke makam Habib Abdurahman al-Habsyi dengan membawa tumpeng sekedar
berbagi rizki untuk selamatan atau tasyakuran.”
SEKILAS MANAQIB AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI
Habib Cikini, begitulah sebutan yang biasa diucapkan banyak orang untuk
sosok al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi. Beliau terlahir dari
keluarga al-Habsyi pada cabang keluarga al-Hadi bin Ahmad Shahib
Syi’ib. Ia generasi pertama dari garis keturunan keluarga yang terlahir
di Nusantara atau generasi kedua yang telah menetap di negeri ini.
Nasab lengkapnya adalah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin
Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad
Shahib Syi’ib bin Muhammad al-Ashghar bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi.
Sebuah sumber tulisan menyebutkan bahwa kakeknya yang bernama Habib
Muhammad bin Husein al-Habsyi adalah yang pertama kali datang dari
Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan kemudian menikah dengan seorang
putri dari keluarga Kesultanan Pontianak. Itu artinya, Habib Cikini
adalah generasi kedua yang terlahir di Nusantara atau generasi ketiga
yang menetap di sini.
Tulisan lainnya menyebutkan bahwa Habib
Muhammad, kakeknya, ikut mendirikan Kesultanan Hasyimiyah Pontianak
bersama keluarga al-Qadri.
Dalam catatan pada kitab rujukan
“Nasab Alawiyyin” susunan Habib Ali bin Ja’far Assegaf ditulsikan,
berdasarkan keterangan Habib Ali Kwitang yang mendapat informasi dari
Habib Alwi (tinggal di Surabaya, sepupu dua kali Habib Ali Kwitang) bin
Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, disebutkan, Habib
Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh, Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin
Ja'far juga menuliskan dengan jelas bahwa Habib Abdullah (Ayah Habib
Cikini) adalah seorang kelahiran Hadhramut, tepatnya di Tarbeh.
Berdasarkan berbagai keterangan di atas, jelaslah “Habib Cikini” adalah
generasi pertama dari garis keturunan keluarganya yang dilahirkan di
Nusantara.
Silsilah Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi
adalah: al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin
Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi bin
Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin
Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi
bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah
Saw.
Habib Cikini sering juga disebut sebagai “Putra Semarang”.
Selain pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad
al-Habsyi (ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya memiliki aktivitas
berdagang antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari
sebuah tulisan menyatakan bahwa ia menikah pertamakali di Semarang.
Sebuah naskah juga menyebutkan, ibu Habib Cikini adalah seorang
syarifah dari keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang, Habib Cikini
sendiri diketahui sebagai putra kelahiran Semarang. Ini berkaitan dengan
catatan lainnya yang menyebutkan: “Ia wafat di Laut Kayong (daerah
Sukadana, Kalimantan) pada 1249 H, atau bertepatan dengan tahun 1833 M.”
Keterangan yang disebutkan terakhir tampaknya lebih mendekati
kebenaran, sebab wilayah Sukadana berseberangan langsung dengan kota
Semarang di Pulau Jawa, dan Kota Semarang merupakan kota kelahiran Habib
Cikini. Hal ini juga selaras dengan keterangan bahwa Habib Abdullah
wafat saat berlayar dari Pontianak ke Semarang. Pada Catatan itu juga
disebutkan, ia wafat saat berperang dengan “lanun”, sebutan orang
Pontianak terhadap para perompak laut.
Habib Cikini juga
memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Habib Syech dan Raden Saleh.
Diantara sejarah kehidupan Habib Cikini yang didapat dari sejumlah
sumber adalah bahwa ia sahabat karib Habib Syech bin Ahmad Bafaqih
(Botoputih-Surabaya). Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan
kaki Ustadz Dhiya’ Shahab dalam bukunya “Syams adz-Dzahirah”.
Begitupula menurut penulis Belanda bernama L.W.C Van Den Berg dalam buku
“Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes” yang menyebutkan bahwa Habib
Syech pernah menetap di Batavia selama kurang lebih 10 tahun.
Sya'roni As-Samfuriy, Ponpes al-Musri Subang Gus Sy Abrehom 13 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar